nouranoor.com – Saat kita sedang semangat mengerjakan sesuatu, lalu ada yang menginterupsi meminta kita mengerjakan hal yang sama pasti langsung enggan atau bad mood, itu bagian dari psikologi perlawanan. Reaksi emosional itu sangat umum muncul pada siapa pun, dan sering terjadi pada anak ke orang tua.
Contoh orang tua sering memerintah anaknya untuk melakukan segala hal, terkadang hingga mendikte satu persatu detailnya. Mereka beranggapan anak tidak akan melakukan tugas dan tanggung jawabnya jika tidak diperintah.
Padahal faktanya semakin anak menerima banyak perintah, mereka akan semakin enggan mengerjakan sesuatu. Kalaupun mereka mengerjakan, pasti dengan perasaan berat hati dan tentu hasilnya tidak akan maksimal.
Perbedaan persepsi inilah yang sering menimbulkan perselisihan antara anak dan orang tua. Di satu sisi orang tua merasa anaknya pemalas, di sisi lain anak merasa orang tuanya terlalu mengatur.
Kali ini kita akan membahas bagaimana reaksi emosional itu muncul dan cara mengelolanya agar tidak timbul perselisihan.
Psikologi Perlawanan
Psikologi Perlawanan (Psychological Reactance) adalah reaksi emosional dan kognitif negatif yang muncul ketika seseorang merasa bahwa kebebasan untuk memilih sedang dikekang. Jack Brehm pertama kali memperkenalkan teori ini pada 1966 yaitu dengan nama Reactance Theory.
Dari teori tersebut, ketika muncul perasaan enggan mengerjakan saat menerima perintah dari orang lain merupakan reaksi yang wajar. Pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk memilih apa pun, namun saat ada yang memerintah maka mereka akan merasa terkekang atau terancam kebebasanya.
Sebagai contoh saat kalian sudah berencana mencuci piring sehabis menyapu rumah, lalu ibu datang dan mengatakan, “Wah rajinnya lagi nyapu, habis itu sekalian cuci piring ya”.
Kemungkinannya hanya dua, pertama kalian kerjakan tapi sambil ngedumel atau bad mood, dan kedua habis nyapu langsung rebahan sambil main handphone atau pergi main.
Keduanya merupakan psikologi perlawanan yang memang umum muncul saat tanpa sadar kalian merasa kebebasan memilih kalian terkekang.
Psikologi perlawanan merupakan tanda kalian memiliki reaksi emosional yang normal sebagai manusia. Hal ini bermakna positif karena kalian menunjukkan kritis terhadap tekanan sosial atau manipulasi.
Namun hal ini bisa menjadi negatif jika kalian terlalu menuruti tanpa batasan yang jelas. Contoh menilai semua perintah itu hanya mengekang hingga menjadikan kalian pribadi yang kontraproduktif dan sulit untuk bekerja sama dalam tim.
Kebutuhan akan Kebebasan
Dalam psikologi perlawanan, membahas akan kebebasan memilih yang terkekang. Kebebasan ini memang menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia.
Self-Determination Theory (SDT), teori motivasi yang dikembangkan oleh Edward Deci dan Richard Ryan pada 1985 menjelaskan tentang kebutuhan psikologis dasar manusia. Dalam teori tersebut dikatakan bahwa manusia akan merasa termotivasi secara optimal jika tiga kebutuhan psikologis dasarnya terpenuhi, yaitu Autonomy (kebebasan), Relatedness (keterhubungan), dan Competence (kemampuan).
Autonomy atau kebutuhan akan kebebasan menjadi kebutuhan psikologis dasar pertama yang perlu terpenuhi. Semakin terpenuhi kebutuhan akan kebebasan kalian akan semakin termotivasi untuk melakukan banyak hal.
Contoh kalian akan termotivasi secara intrinsik, yaitu melakukan sesuatu karena memang menikmatinya, bukan karena imbalan atau tekanan. Misal, kalian membantu orang karena senang melihat mereka bahagia atau kalian rajin bersih-bersih rumah karena suka tempat ringgal yang rapih.
Maka bisa kita katakan pemenuhan kebutuhan akan kebebasan menjadi poin penting dalam psikologis dasar manusia. Jika terpenuhi seseorang akan lebih semangat, bahagia, dan puas dalam hidup.
Jadi hal yang lumrah ketika kalian merasa enggan mengerjakan sesuatu saat menerima perintah, karena merasa ada yang mengganggu kebebasan yang kalian miliki.
Kesimpulan
Merasa enggan untuk mengerjakan sesuatu karena menerima perintah dari orang lain itu dalah reaksi emosional yang lumrah. Itu merupakan bagian dari psikologi perlawanan dari diri kita, karena pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan akan kebebasan.
Ketika kita menerima perintah untuk melakukan sesuatu, pastinya akan secara otomatis merasa terkekang. Jadi saat kita melakukan bukan lagi karena pilihan yang kita buat melainkan perintah dari orang lain.
Hasil yang kita rasakan pun akan jauh berbeda ketika mengerjakan karena keinginan sendiri. Akan timbul perasaan lebih puas, bahagia, dan termotivasi untuk mengerjakan hal lainnya.
Namun ketika kita menerima perintah lalu muncul perasaan enggan mengerjakan, bukan serta merta menjadi pembenaran bagi kita untuk tidak mengerjakannya. Kita harus bisa mengklasifikasikan perasaan dengan tanggung jawab kita.
Jadi sebesar apapun perasaan enggan yang muncul karena diperintah, ketika itu bagian dari tanggung jawab kita maka wajib dikerjakan.
Orang tua sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan akan kebebasan pada anak. Misal sedari kecil orang tua sudah mengajarkan tugas rumah pada anak. Sekali dua kali orang tua membimbing untuk melakukannya, setelah itu cukup memantau dan biarkan anak berkreasi bagaimana cara menyelesaikan tugas itu.
Jadi orang tua tidak perlu memerintah setiap hari, dengan begitu kebebasan anak akan terpenuhi. Ketika anak dewasa, ia sudah akan lebih matang dalam mengelola kebebasannya. Sehingga ia bisa membedakan mana perintah yang abusive atau tidak.
Saat bisa membedakan hal itu kita tidak akan terjebak menjadi people pleaser, karena kita sudah lebih kritis terhadap tekanan sosial atau manipulasi yang ada.
Kesimpulannya, saat kita merasa enggan mengerjakan sesuatu saat menerima perintah itu tandanya diri kita memberikan sinyal perlawanan yang positif. Namun perlu diperhatikan reaksi tindakan kita, jangan sampai terjebak hingga menjadi kontraproduktif.