nouranoor.com – Pada sesi Agree or Disagree (AoD) kali ini kita akan membahas ‘standar Tiktok’ alias konten yang sering fyp mengenai standar-standar dalam menjalani kehidupan. Salah satunya yaitu, melahirkan anak dalam kondisi miskin dianggap sebagai kejahatan.
Pernyataan ini cukup populer dan pastinya menjadi perdebatan bagi netizen. Ada kelompok netizen yang pro dan ada juga yang kontra.
Kali ini saya akan membahas sejauh mana kesesuain pernyataan dengan fakta yang terjadi dan apakah eligible untuk semua orang.
Tingkat Kekerasan Terdahap Anak
Tidak mungkin pernyataan “melahirkan anak dalam kondisi miskin adalah kejahatan” muncul tanpa adanya alasan. Dari data statistik, setiap tahun kasus kekerasan terhadap anak terus bertambah, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, dan lainnya.
Jika kita lihat, faktor utama penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak adalah faktor ekonomi atau kemiskinan.
Hal yang tak terbantahkan, kemiskinan sering menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap anak. Kekerasan ini terjadi pada berbagai tingkat dari yang sering terlihat sampai yang kita tidak sadari.
Klasifikasi Tingkat Kekerasan Anak
Contoh di tingkat pertama yaitu, anak-anak di bawah umur yang harus putus sekolah. Umumnya mereka mendapat paksaan untuk bekerja di jalanan seperti mengemis, mengamen, ataupun berjualan asongan. Mereka mendapat eksploitasi baik fisik maupun psikis oleh orang dewasa atau bahkan orang tua mereka sendiri.
Tingkat selanjutnya, dari luar anak-anak terlihat aman tinggal dengan orang tuanya tetapi faktanya tak sedikit menjadi korban KDRT. Bentuk kekerasan bisa secara verbal maupun non verbal salah satu pemicunya yaitu tekanan ekonomi. Sering orang tua melampiaskan ketidak mampuannya dengan menjadikan anak kambing hitam (kesulitan/beban ekomoni di keluarga).
Kalian mungkin pernah melihat sebuah video di mana seorang anak kecil menangis karena lapar dan minta makan, tetapi sang ibu malah marah-marah dan menghardiknya dengan keras. Ini merupakan salah satu contoh dari beragam kekerasan yang terjadi di tingkat ini.
Pada tingkat terakhir, anak dipandang sebagai ladang investasi. Tingkatan ini menjadi yang tertingi karena orang-orang jarang menyadarinya. Bahkan yang lebih parah, menganggap hal tersebut lumrah yang terjadi dalam sebuah keluarga.
Tingkat ini umumnya berhubungan erat dengan tingkat kedua tadi, rata-rata orang tua yang sudah menganggap membesarkan anak sama dengan cost maka mereka akan meminta timbal balik ketika sang anak sudah dewasa.
Inilah salah satu penyebab terbentuknya generasi sandwich. Orang tua akan membebankan kebutuhan hidupnya bahkan anak-anaknya yang lain kepada anak tertua atau anak yang mereka anggap memiliki kemampuan finansial lebih.
Namun yang berbeda pada tingkat ini tidak selalu faktor ekonomi yang menjadi penyebab utamanya, tetapi perasaan orang tua yang memiliki hak penuh atas anak yang telah mereka besarkan, sehingga mereka merasa wajib mengatur jalan hidup anaknya sekali pun itu tidak sesuai keinginan atau kebutuhan anaknya.
Dari ketiga tingkatan ini sangat jelas kemiskinan sangat berpengaruh terjadinya kekerasan terhadap anak. Jadi apakah benar “Melahirkan anak dalam kondisi miskin adalah kejahatan”? kita akan membahasnya lebih lanjut.
Kemiskinan Bukan Penghalang Kesuksesan
Saya punya satu jajanan favorit dari zaman SD hingga sekarang yaitu sejenis kue atau martabak mini. Sudah lebih dari 20 tahun setiap saya beli jajanan di SD, martabak mini itu masih dijual oleh pedagang yang sama. Dari dulu harga satuannya 100 rupiah, 500 rupiah, hingga kini 1000 rupiah.
Sekitar tahun lalu, saya melihat pedagang ini sudah upgrade dari yang tadinya menggunakan gerobak pikul kini sudah menggunakan gerobak dorong. Hal lain yang membuat saya amaze adalah dia memiliki sertifikasi halal untuk jajanan yang ia jual itu.
Tentu saja ini menarik, karena tidak banyak pedagang kecil atau umkm yang mau mengurus sertifikasi halal untuk produknya. Selain minimnya literasi atau informasi mengenai cara mengurus sertifikasi halal, faktor biaya juga menjadi alasan utama umkm masih enggan mengurusnya.
Terdorong rasa penasaran, saya pun bertanya bagaimana cara ia bisa mengurus sertifikasi halal tersebut. Awalnya saya berpikir mungkin ia mengikuti program pengurusan sertifikasi halal gratis, namun jawabannya benar-benar di luar prediksi.
“Oh itu yang urus anak saya, saya nggak ngerti urus-urus kaya gitu. Kayanya sekitar dua minggu atau lebih gitu saya lupa,” jawabnya polos sambil tersenyum lalu ia melanjutkan “Anak saya juga sudah kerja dan lulus kuliah, jadi waktu dia tawarin mau bantu urus ya saya kasih (percayain) aja”.
Jujur saja saya langsung melongo mendengar jawabannya dan takjub di waktu yang bersamaan.
Coba kita telaah besama, ia berdagang lebih dari 20 tahun dengan gerobak pikul dan harga dagangannya per buah tidak lebih dari seribu rupiah. Siapa pun yang melihatnya pasti berpikir kalau ia termasuk dalam kategori yang kurang mampu atau bahkan masuk kategori miskin.
Tapi siapa sangka ia mampu memberikan fasilitas pendidikan yang baik bagi anaknya hingga menjadi sarjana. Yang lebih luar biasa adalah walaupun anaknya sudah bekerja dan memiliki penghasilan ia tetap memilih berjualan.
Artinya sudah jelas, ia tidak mau membebankan kebutuhan hidupnya kepada anaknya atau tidak memandang anak sebagai ladang investasi. Pada akhirnya kemiskinan orang tua tidak selalu menjadi penghalang seorang anak menjadi sukses.
Miskin Secara Ekonomi atau Mindset
Ketika mendengan kata miskin, yang terlintas di otak kita adalah kekurangan dalam hal finansilal atau ekonomi. Padahal jika kita telaah lebih jauh, miskin bisa dalam berbagai hal. Dalam pembahasan ini miskin kita kategorikan menjadi dua yaitu, miskin secara ekonomi dan miskin secara mindset.
Secara garis besar dari pembahasan sebelumnya faktor kemiskinan secara ekonomi belum tentu menjadi penyebab kekerasan terhadap anak tetapi miskin secara mindset atau pola pikir yang lebih memegang peranan penting.
Contoh Miskin Ekonomi dan Miskin Mindset
Ketika ada dua anak sama-sama terlahir dari keluarga yang miskin, kemungkinan satu di antaranya bisa sukses dalam kehidupannya dan yang satu tetap berkutat dalam lingkaran kemiskinan.
Keluarga miskin A menganggap anak sebagai ladang investasi, sehingga ketika mereka dewasa harus menanggung kehidupan keluargaanya, lebih parah ketika orang tua hanya memberikan fasilitas yang minim tapi menuntut anak membalas mereka semaksimal mungkin. Mindset ini terus berulang dan menjadi tradisi turun temurun.
Keluarga miskin B berprinsip anak adalah tanggung jawab orang tua, sehingga memberikan fasilitas terbaik hingga anak menjadi sukses bukanlah suatu beban. Mereka tidak akan mengintervensi kesuksesan anak dengan dalih meminta balas budi.
Contoh mindset dari keluarga miskin B yang seharusnya dipupuk bahkan dijadikan tradisi turun temurun. Sekali lagi miskin secara ekonomi bukanlah alasan untuk melakukan kejahatan pada anak, tetapi miskin mindset yang memegang peranan penting terjadinya hal itu.
Jadi, apakah setuju orang miskin boleh menikah dan memiliki anak?
Jawabannya sangat setuju, namun dengan catatan bahwa orang tersebut minimal masuk kategori miskin secara ekonomi bukan mindset.
Yang jelas tidak setuju adalah kalau mereka miskin pada keduanya, jenis inilah yang bisa masuk dalam kategori kejahatan dan mungkin bisa untuk dipidana. Karena hampir dapat pastikan potensi kekerasan pada anak terjadi.
Kondisi lainnya yaitu kalau mereka miskin secara mindset namun kaya dalam hal ekonomi. Pendapat saya pribadi tidak setuju, karena mereka tetap memiliki potensi potensi melakukan kekerasan terhadap anak namun berbeda jenisnya.
Jenis kekerasannya lebih kepada kekerasan psikis atau mental, karena anak-anak yang lahir dari orang tua dengan kategori ini tetap memandang anak sebagai investasi namun bukan secara finansial tetapi gengsi.
Anak-anaknya selalu dituntut berprestasi di bidang akademik atau melanjutkan cita-cita orang tuanya yang tidak tercapai. Tuntutan ini bahkan sering diluar kemampuan sang anak, namun mereka tetap harus melakukannya.
Kesimpulan
Jadi menurut saya tidak ada bedanya orang tua yang kaya atau miskin secara ekonomi tetapi miskin mindset, karena keduanya akan tetap melakukan kejahatan secara sadar atau tidak sadar terhadap anaknya.
Maka pernyataan yang tepat menurut saya adalah “Melahirkan Anak Dalam Kondisi Miskin Mindset adalah Kejahatan”.