Kaya Budaya Tata Krama tapi Mudah Mencela Orang Lain

Kaya Budaya Tata Krama tapi Mudah Mencela Orang Lain

Opini

nouranoor.com – Paradoks yang terjadi di masyarakat kita yaitu kaya akan budaya tata krama tapi kenyataannya mudah sekali mencela orang lain. Tentunya kita bertanya-tanya mengapa hal itu bisa terjadi bahkan menjadi lumrah.

Masyarakat kita terkenal memiliki beragam adat istiadat yang tentunya kental akan tata krama di setiap daerah. Saat berkunjung ke suatu daerah, pastinya kita akan menghormati dan bahkan mengikuti adat istiadat yang ada di sana. Jadi saling menghormati atau menghargai adalah hal yang umum bagi masyarakat kita.

Dengan begitu, seharusnya kita bisa menjadi masyarakat yang paling toleran akan adanya perbedaan. Masyarakat kita sendiri memiliki beragam perbedaan baik suku, ras, agama, dan lainnya. Secara umum saat kita bermasyarakat, kita sangat toleran dengan perbedaan-perbedaan tersebut.

Namun fakta di lapangan kita menjadi masyarakat yang sulit menerima perbedaan. Contoh ketika di keluarga ada dua anak, yang satu ‘pintar akademis’ dan yang satu ‘biasa saja’. Kedua anak ini akan selalu jadi objek perbandingan, di tingkat lanjut bahkan model anak yang ‘biasa saja’ akan selalu jadi bahan celaan.

Kini kita akan membahas apa saja yang mempengaruhi masyarakat yang memiliki nilai budaya tata krama tinggi namun mudah sekali mencela seseorang.

Tata Krama sebagai Formalitas

Dari fenomena ini kita bisa melihat bahwa rasanya budaya tata krama yang ada di masyarakat hanyalah sebagai formalitas. Bukan tanpa sebab, tata krama yang sudah mengakar di masyarakat umumnya dipatuhi hanya karena tuntutan budaya atau tekanan sosial.

Sebagai contoh dalam masyarakat Jawa, mereka mengajarkan anak-anak sejak dini nilai-nilai seperti wedi (takut), isin (malu), dan sungkan (segan). Nilai-nilai itu sangat baik untuk membentuk sikap hormat dan sopan santun pada masyarakatnya. Tentunya nilai-nilai seperti ini juga ada di masyarakat suku-suku lain.

Namun sekali lagi, nilai-nilai seperti ini hanya masyarakat kita jalankan karena tuntutan budaya dan sosial tanpa internalisasi yang mendalam. Inilah mengapa seseorang dapat bersikap sopan secara lahiriah tetapi tetap menyimpan sikap negatif atau merendahkan terhadap orang lain.

Dengan kata lain, masyarakat kita bersikap sopan karena merasa “seharusnya begitu,” bukan karena tulus dari hati. Kita bisa melihat tanda-tanda tata krama di masyarakat kita hanya sebagai formalitas.

Pertama mereka akan melakukannya untuk menjaga citra atau penilaian orang lain terhadapnya. Misal seseorang berbicara sopan dan ramah terhadap orang lain, namun di belakangnya ia membicarakan keburukan orang tersebut.

Baca Juga:  AoD: Melahirkan Anak Dalam Kondisi Miskin adalah Kejahatan

Tanda yang kedua yaitu tindakan konsisten antara ucapan dan tindakan. Contoh seseorang yang terkenal sering memberikan bantuan materil pada teman bahkan masyarakat umum, tetapi saat di rumah sangat pelit bahkan kasar pada keluarganya.

Tanda selanjutnya yaitu bersifat situasional dan berubah tergantung konteks. Misal kita melihat sosok pejabat yang selalu sopan dan penuh rasa hormat saat di forum resmi. Namun ketika bertemu rakyat biasa, ia akan merendahkan dan mencela tanpa rasa bersalah.

Jadi selama masyarakat kita mengaplikasikan tata krama tanpa ketulusan dalam hati, maka semuanya akan menjadi formalitas. Merendahkan atau mencela orang lain tentunya menjadi lumrah, bahkan hanya karena perbedaan kecil.

Pergeseran Nilai

Di era modernisasi saat ini, membawa perubahan dalam nilai-nilai sosial dan budaya di masyarakat. Gaya hidup individualis menjadi suatu hal yang sangat umum terjadi. Mereka cenderung menjunjung kebebasan berekspresi, mengutamakan bertindak atau mengungkapkan apa yang mereka rasakan tanpa memikirkan perasaan orang lain.

Saat ini, mengikuti norma dan tata krama cenderung dianggap kuno atau ketinggalan zaman. Alhasil kita sering melihat orang-orang bertutur kata sopan hanya sebagai formalitas tidak diimbangi dengan sikap dan perbuatan.

Contoh lain dari pergeseran nilai sosial yaitu menggunakan gaya komunikasi langsung yang cenderung frontal tanpa melihat lawan bicaranya. Mereka tidak peduli lawan bicaranya lebih muda atau lebih tua. Bagi mereka itu salah satu sikap apa adanya atau keterbukaan, padahal tidak sepenuhnya bisa digunakan dalam setiap kondisi.

Pergeseran nilai juga mempengaruhi tingkat kritis anak terhadap pendapat dari orang tua. Secara umum, ini adalah hal yang baik tetapi yang menjadi masalah adalah ketika sikap kritis tidak sejalan dengan gaya komunikasi sesuai tata krama.

Perkembangan teknologi dan media sosial memang menjadi faktor kunci pergeseran nilai sosial. Akses informasi tanpa batas, terkadang membuat kita terbuai dan lupa akan nilai yang seharusnya kita pegang. Seharusnya sebanyak apapun pengetahuan yang kita miliki tidak bisa menjadikan alasan untuk membuang budaya tata krama hingga mudah mencela orang lain.

Pengaruh Anonimitas

Perkembangan media sosial yang begitu masif menjadi alat bagi seseorang untuk melakukan segala hal tanpa ada yang mengetahui identitasnya. Anonimitas kini bahkan dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk membuat konten buruk atau sekadar hate speech pada orang lain.

Lebih jauh lagi, anonimitas ini ada yang memanfaatkan untuk pekerjaan seperti buzzer. Buzzer memiliki makna yang mengacu pada seseorang atau kelompok orang yang bertugas menyebarkan informasi tertentu di media sosial. Umumnya penyebaran informasi bertujuan untuk promosi, kampanye politik, atau menjatuhkan pihak tertentu.

Baca Juga:  AoD: Jangan Dengarkan Siapa Yang Mengatakan

Secara umum buzzer bisa sangat bermanfaat dan memiliki dampak positif, namun seiring perkembangannya buzzer lebih sering menimbulkan dampak negatif. Fakta di lapangan memang buzzer lebih sering dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi palsu secara masif.

Pengaruh anonimitas memiliki dampak besar pada tren ini, kita jadi harus semakin selektif dalam menerima informasi. Beberapa dampak negatif dari anonimitas ini seperti berkurangnya rasa tanggung jawab saat menyampaikan opini dan menurunnya rasa empati.

Hal ini karena mereka sudah terbiasa berlindung dengan identitas anonim, sehingga merasa cukup lempar opini tidak peduli benar atau tidak. Sikap seperti ini semakin didukung dengan orang-orang yang mengejar konten viral, tanpa peduli isi atau makna dari kontennya.

Maka jangan heran ketika menemui banyak orang (netizen) yang mudah sekali mencela orang lain di media sosial.

Kesimpulan

Tanpa ada rasa untuk memahami dengan sepenuh hati, budaya tata krama di masyarakat kita hanya akan berakhir menjadi sikap formalitas saja. Kemajuan zaman, terutama perkembangan teknologi bukanlah alasan seseorang untuk meninggalkan tata krama.

Berdasarkan laporan Microsoft Digital Civility Index (DCI) 2020, Indonesia menempati peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei secara global, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat kesopanan digital terendah di dunia.

Bahkan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi terbawah, menunjukkan bahwa netizen kita paling tidak sopan di wilayah ini. Beberapa faktor yang menyebabkan julukan ini adalah banyaknya ujaran kebencian, penyebaran hoaks, dan interaksi online yang negatif.

Tentunya sangat kita sayangkan label seperti itu bisa ada pada masyarakat kita yang notabene sangat terkenal akan budaya tata krama. Ini menjadi anomali, bagaimana seharusnya kita menjadi masyarakat yang memiliki value tetapi malah sebaliknya.

Mengaplikasikan tata krama bukan perkara seseorang itu bodoh atau pintar, tetapi mau atau tidak. Tata krama tidak hanya berlaku di kondisi tertentu, tetapi harus kita aplikasikan di mana pun dan kapan pun.

Kita harus mulai tidak mentoleransi mencela orang lain dengan dalih bercanda atau sekadar guyon. Menjaga tata krama agar tidak mudah mencela orang lain itu bukanlah sesuatu yang kuno.

Faktanya tata krama akan selalu kita butuhkan dalam kehidupan bermasyarakat bahkan tetap exist dalam kondisi apa pun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *