Industri Makanan Tidak Butuh Food Vlogger

Industri Makanan Tidak Butuh Food Vlogger

Opini

nouranoor.com – Benarkah industri makanan tidak membutuhkan food vlogger? Pernyataan ini menarik untuk kita bahas, terutama saat ini fenomena food vlogger bak dua mata pisau bagi industri makanan.

Di era digital saat ini, cara paling cepat mempromosikan suatu produk adalah melalui media sosial. Maka jika berbicara untuk mengembangkan industri makanan, food vlogger pastinya memiliki peran yang cukup sentral.

Namun akhir-akhir ini banyak yang mengaku sebagai food vlogger namun merugikan para pengusaha makanan. Mereka membawa tagline ‘review jujur’ saat membuat vlog review, dan akhirnya bisa menyesatkan konsumen serta membuat citra negatif bagi suatu usaha makanan.

Kali ini saya akan membahas fenomena food vlooger, dan seberapa besar dampaknya bagi usaha makanan.

Apa itu Food Vlogger?

Food vlogger secara umum sama dengan konten kreator yang membuat video review suatu produk, namun ini fokus pada konten review makanan. Mereka akan membagikan konten di platform digital seperti Youtube, Instagram, maupun TikTok.

Dalam mereview mereka bisa dari makanan di kaki lima hingga restoran mewah. Jadi konten review mereka tidak hanya fokus pada rasa makanannya tetapi juga pada tempat memproduksi atau menjual makanan itu.

Bahkan mereka juga sering mereview cara pelayanan seorang penjual saat melayani atau serving makanan ke konsumen. Jadi hampir semua aspek yang berhubungan dengan makanan akan mereka review untuk menjadi sebuah konten.

Food vlogger kini menjadi profesi yang menjanjikan karena semakin besar engagement mereka maka lebih banyak pendapatannya. Mulai dari iklan, sponsor, dan kolaborasi dengan FnB atau industri sejenisnya.

Tren Food Vlogger

Tren food vlogger mulai berkembang pesat pada 2010-an seiring dengan meningkatnya popularitas platform YouTube. Jika ditarik ke belakang konten review makanan di Indonesia sudah mulai berkembang sejak 2000an.

Salah satu acara tv review makanan yang terkenal adalah Wisata Kuliner dengan host Pak Bondan (Bondan Winarno) dengan slogan khasnya ‘pokok’e maknyus’. Review setiap makanan dari Pak Bondan selalu berisi, tidak hanya rasa, tetapi juga tips menikmati suatu makanan hingga back story makanan tersebut.

Pada awal perkembangan food vlogger, mereka mengikuti konsep seperti ini juga. Konten kreator yang memang masih memiliki background di dunia kuliner terjun menjadi food vlogger. Namun memasuki era 2020-an, banyak bermunculan food vlogger yang tanpa background kuliner sama sekali.

Baca Juga:  AoD: Jangan Dengarkan Siapa Yang Mengatakan

Tentu saja tidak ada masalah, dengan background apapun sah-sah saja untuk menjadi food vlogger. Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika mereka membawa tagline ‘review jujur’. Mereka berusaha meyakinkan para penontonnya bahwa hasil review mereka 100% benar, dan bisa menjadi patokan secara umum sebuah makanan rekomen atau tidak.

Hal inilah yang bisa merugikan suatu usaha FnB, satu pallet lidah seseorang digenaralisasi untuk semua orang. Analoginya, makanan X enak bagi konsumen A namun belum tentu bagi konsumen B. Maka rasanya sangat tidak etis menjudge satu makanan hanya dari lidah sendiri.

Belum lagi ada gimmick review makanan yang tiba-tiba ada serangga, rambut, dan lain-lainnya. Hal seperti ini memiliki probability 50:50, kalau pun benar bukankah lebih etis langsung komplain ke manajer atau kokinya tanpa perlu langsung dijadikan konten.

Hal itu akan lebih baik, karena bisa jadi bahan evaluasi bagi usaha FnB tersebut. Karena bisa dipastikan 100% tidak ada pengusaha FnB yang secara sengaja serving makanan tidak layak untuk konsumen. Apalagi usaha yang sudah berjalan tahunan atau puluhan tahun.

Dampak Positif

  • Menambah Nilai Jual
    Review dari food vlogger, terutama yang sudah terkenal kualitasnya akan meningkatkan kepercayaan konsumen. Sehingga konsumen tanpa ragu mau membeli makanan yang kita produksi, sehingga secara otomatis nilai jualnya bertambah.
  • Mempercepat Engagement
    Jangkauan yang luas dari konten review tersebut akan mempercepat masyarakat luas mengenal produk makanan yang kita jual. Maka akan lebih banyak segment konsumen yang bisa ditarik untuk membeli makanan kita.
  • Sumber Inspirasi
    Dengan konten berkualitas, bisa menjadi sumber inspirasi bagi calon pengusaha FnB dalam membangun usaha kulinernya. Bahkan bisa menjadi bahan evaluasi bagi yang sudah menjalankan bisnis FnB.
  • Sebagai Hiburan dan Edukasi
    Jenis konten ini sangat menghibur serta memberi nilai edukasi, karena kita bisa mengetahui beragam rasa makanan dari berbagai daerah tanpa harus keliling ke seluruh nusantara atau dunia. Bahkan bisa menjadi referensi sebelum mencoba suatu makanan, untuk menyesuaikan dengan pallet lidah kita.
  • Meningkatkan Pariwisata Kuliner
    Dengan mereview makanan dari berbagai tempat, food vlogger ikut membantu meningkatkan minat wisata kuliner, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Baca Juga:  Benarkah Film Animasi 'Jumbo' Menyentuh Batas Aqidah?

Dampak Negatif

  • Review Tidak Objektif
    Fokus review hanya agar kontennya viral, menilai makanan semaunya sendiri. Menggunakan tagline ‘review jujur’ yang sebenarnya bisa menyesatkan calon konsumen.
  • Meningkatkan Tren Konsumtif
    Semakin marak konten review makanan, maka akan meningkatkan minat kulineran setiap orang. Hal ini bisa berbahaya ketika jika tidak dibatasi, tren konsumtif meningkat tanpa diimbangi dengan menjaga kesehatan.
  • Persaingan Bisnis Tidak Sehat
    Hal ini cukup berbahaya, jika ada food vlogger yang menerima bayaran tertentu untuk mereview dengan niatan menjatuhkan usaha FnB orang lain. Sudah banyak contohnya usaha FnB yang sudah berjalan tahunan akhirnya harus gulung tikar.
  • Food Waste
    Beberapa konten review terkadang tidak menghabiskan makanan yang mereka review, hanya sekadar untuk cicip saja. Ini bisa meningkatkan jumlah sampah makanan yang ada.
  • ‘Pemerasan’ Terhadap Usaha FnB
    Pada tingkat ini bisa sangat merugikan pengusaha FnB. Contohnya oknum food vlogger akan meminta sejumlah imbalan untuk take down video review negatif mereka. Seperti makanannya ada serangga, dan benda asing lainnya. Ada juga yang menggunakan bahasa halus dengan menawarkan menjadi food consultant.

Kesimpulan

Di era digital seperti ini, industri makanan tentu saja butuh food vlogger begitu juga sebaliknya. Maka sudah seharusnya industri makanan cepat tanggap dalam menghadapi kritik serta food vlogger wajib membuat konten yang objektif tidak hanya sekadar viral.

Dalam fenomena food vlogger yang berkembang saat ini, kita sebagai juga penonton atau konsumen harus selektif. Mulai belajar membedakan mana konten yang layak dan tidak layak untuk menjadi referensi dalam memilih makanan.

Salah satu ciri yang bisa menjadi patokan menilai food vlogger itu layak adalah konten etikanya. Contoh jika isi kontenya lebih banyak kontroversi, seperti makanan ada serangga, paku, beling dan sejenisnya maka bisa dipastikan mereka tidak layak atau tidak berkualitas.

Selain itu secara tidak langsung ‘memaksa’ penonton kontennya memiliki pallet lidah yang sama dengannya. Umumnya mereka akan mengatakan rasa makanan tidak enak, asam, seperti basi, kaos kaki busuk, dan sejenisnya tanpa membedah komponen (bumbu atau rempah) apa saja yang ada dalam makanan tersebut.

Mulai sekarang jadilah penonton yang cerdas, tidak mudah termakan review tanpa dasar dari oknum-oknum food vlogger. Seperti yang dikatakan tadi, tidak ada penguasah FnB apalagi yang sudah tahunan secara sengaja serving makanan tidak layak untuk konsumen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *