nouranoor.com – Balik lagi nih sesi Agree or Disagree (AoD), kali ini kita akan membahas bagaimana meminta ‘angpao’ menjadi awal mula mental mengemis terbentuk sejak dini. Membagikan angpao atau THR kepada anak-anak saat hari raya sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat.
Hari raya memang merupakan momen yang tepat dalam berbagi kebahagiaan, salah satunya dengan memberi angpao. Hanya saja tradisi berbagi ini sering jadi ajang aji mumpung bagi sebagian orang. Contohnya orang tua yang mengajarkan anaknya untuk meminta angpao bukan sekadar menunggu sampai diberi oleh sanak saudaranya.
Inilah yang akan menjadi cikal bakal mental mengemis sejak dini pada anak. Kita akan membahas lebih dalam bagaimana hal sesederhana ‘meminta angpao’ akan membentuk pribadi yang selalu ingin diberi hingga dewasa.
Mental Mengemis Sejak Dini
Masa anak-anak merupakan golden age, periode emas pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama pada otak (mental) dan fisik. Pada masa itu anak-anak seperti canvas kosong, yang siap diberikan warna apapun oleh orang sekitarnya terutama orang tua.
Orang tua memengang tangung jawab penuh dalam pembentukan pribadi seorang anak. Anak akan menjadikan orang tua mereka sebagai contoh bagaimana seharusnya bersosialisasi dengan lingkungan. Bagaimana bersikap pada orang yang lebih tua, teman sebaya, maupun yang lebih muda.
Pada hal ini, ketika orang tua mengajarkan atau menyuruh anak untuk meminta angpao kepada sanak saudara menjadikan bibit mengemis tumbuh pada anak. Lama kelamaan bibit tersebut akan terbentuk menjadi mental mengemis yang akan terbawa hingga mereka dewasa.
Hal yang paling mudah dalam membentuk habit adalah dengan membiasakan hal-hal kecil. Ketika meminta angpao sudah menjadi hal biasa bahkan ‘wajib’, tentunya ini akan menjadi habit. Jika sudah menjadi habit, maka yang tadinya hanya sekadar meminta angpao jadi terbiasa meminta pada hal lain.
Saat menyuruh anak meminta angpao, umumnya orang tua menggambarkan sanak saudaranya lebih mampu sehingga menerima dari mereka adalah hal yang wajar. Dari sana anak akan mulai memposisikan diri sebagai penerima, dan ketika dewasa mereka akan merasa orang lain wajib membantunya saat kondisi sulit serta tidak berlaku sebaliknya.
Jadi jangan pernah normalisasi anak untuk ‘meminta angpao’ pada orang lain, karena itu akan membentuk mental mengemis sejak dini yang akan terbawa hingga mereka dewasa.
Menerima Bukan Meminta
Kata yang sekilas memiliki arti sama namun maknanya jauh berbeda, yaitu menerima dan meminta. Kita akan menggambarkannya dalam hal berbagi angpao saat hari raya.
Ketika ada sanak saudara yang biasa membagikan angpao, lalu ketika baru bertemu orang tua akan langsung menyuruh sang anak untuk meminta angpao pada mereka. Mereka beranggapan toh pada akhirnya mereka juga akan memberikan angpao tersebut.
Anggapan tersebut adalah sebuah kekeliruan, menerima bukanlah meminta. Perbedaannya sangat tipis memang, jika digambarkan pada contoh tadi mungkin dengan bersabar setengah jam maknanya akan berbeda. Hal penting yaitu, memberi lebih baik dari menerima, dan menerima lebih baik dari meminta.
Ketika ada saudara yang biasa memberi, bukan berarti memberikan hak pada kita untuk meminta padanya. Sesering apapun mereka memberi, kita tetap harus memposisikan diri hanya sebagai penerima bukan peminta.
Jika sudah terbiasa menjadi peminta pada hal kecil, maka akan mahir meminta pada hal yang lebih besar. Namun jika kita hanya sebagai penerima maka akan mulai terbentuk perasaan ingin memberi. Perasaan timbal balik yang tidak akan muncul pada seorang peminta.
Jadi sudah jelas menerima tidak sama dengan meminta, walaupun akhirnya sama-sama menerima pemberian dari orang lain.
Orang Tua adalah Contoh
Anak terlahir seperti kertas putih tanpa coretan, dan orang tualah yang menjadi guide utama seorang anak untuk tumbuh. Apapun yang ditanamkan orang tua pada anak akan mereka serap sepenuhnya. Bahkan dengan melihat perilaku orang tua, anak akan mencontohnya.
Beberapa orang tua sering menjadikan anak sebagai investasi kecil mereka saat hari raya untuk meminta angpao pada sanak saudaranya. Mereka akan menanamkan mindset pada anak bahwa meminta angpao adalah hal yang lumrah dan bagian dari tradisi.
Bahkan yang lebih bahaya ada orang tua yang ‘memaksa’ anaknya untuk meminta dan jika tidak mereka ditakut-takuti tidak bisa membeli mainan impian mereka. Namun setelah sang anak mendapat angpao, orang tua langsung mengambilnya dengan alasan anak belum punya kemampuan mengelola uang.
Ini merupakan kekeliruan, pertama yang bertanggung jawab atas kebutuhan dan keinginan anak adalah orang tua. Kedua, ketika mengambil angpao anak itu akan mengajarkan mengambil hak orang lain sejak dini.
Dalam satu momen membetuk dua mental buruk sekaligus yaitu, meminta dan mengambil hak orang lain. Sering hal seperti ini kita anggap sebagai hal lumrah, namun tanpa kita sadari sudah menanamkan bibit keburukan pada anak.
Hal terbaik yang bisa kita contohkan adalah membiasakan anak hanya menerima angpao dari orang yang memberi, serta ajarkan anak mengelola uang sejak dini. Orang tua boleh menyimpan atau mengelola uangnya namun anak wajib mengetahui pengelolaannya.
Dengan begitu anak akan terbiasa pada tiga hal positif yaitu, sebagai penerima yang akan menumbuhkan bibit memberi nantinya, lalu tahu cara pengelolaan uang, dan menjadi pribadi yang jujur.
Tidak ada sosok dewasa yang tiba-tiba menjadi sosok ‘pengemis’ bantuan, jika tidak ditanam bibit terebut sejak dini.
Hukum Tabur Tuai
Dalam membesarkan atau merawat anak hingga dewasa seperti menanam padi. Tidak hanya bibitnya yang perlu diperhatikan, asupan seperti pengairan, pupuk, dan lainnya perlu seimbang agar memperoleh panen yang terbaik.
Jika kita ambil dari contoh sebelumnya, ketika orang tua membiasakan anak untuk meminta lalu hasilnya orang tua yang mengambil jangan heran jika anak tumbuh menjadi peminta serta mengambil hak orang lain. Bahkan mereka tidak akan segan melakukan hal yang sama pada orang tuanya, sekalipun orang tuanya sudah sepuh karena hal seperti itu yang mereka contoh sejak kecil.
Hukum tabur tuai itu adalah hal yang nyata, apa yang kita investasikan pada anak hari ini baik mental maupun fisik akan menentukan jadi seperti apa anak ketika dewasa. Jangan berharap anak akan menjadi pelindung kita saat mereka dewasa, jika saat kecil mereka saja tidak merasakan hal itu.
Seperti apa pribadi seorang anak adalah sebuah cerminan dari bagaimana orang tua mendidiknya. Jadi biasakan hal yang benar bukan sekadar membenarkan yang sudah biasa.
Kesimpulan
Saat hari raya biasakan pada anak hanya menerima bukan meminta angpao, karena meminta akan membentuk mental mengemis sejak dini pada anak.
Jika anak memiliki sejumlah angpao, ini menjadi momen yang baik untuk mengajarkan pada anak cara mengelola keuangan. Sehingga saat dewasa mereka bisa mandiri serta terbiasa mengelola keuangan pribadi dengan sehat.
Tidak ada mungkin mental mengemis terbentuk secara tiba-tiba, pastinya ada karena pembiasaan. Pembentukan mental seperti halnya hukum tabur tuai.
Jadi kita harus setuju (agree) bahwa mental mengemis bisa dimulai dari budaya ‘meminta angpao’ bukan sekadar menerima.