nouranoor.com – Bahasa slang yang dahulunya hanya digunakan kelompok tertentu, kini berkembang mengikuti kemajuan media sosial. Berbagai bahasa slang atau lebih terkenal sebagai bahasa gaul sering kita temui terutama di kalangan anak muda.
Kalian pasti tidak asing dengan kata YTTA, Gamon, YOLO, dan FOMO, itu beberapa contoh kata slang yang tidak asing saat ini. Di setiap zaman, kata slang yang digunakan pasti berbeda. Seperti contoh tadi merupakan kata yang para Gen Z maupun Millenial sering gunakan.
Slang sendiri merupakan sebuah istilah yang lahir di jalanan, hingga kini bisa menyebar menjadi tren di berbagai kalangan. Bagaimana asal-usul istilah slang ini? Simak ulasan lengkap berikut ini.
Apa Itu Bahasa Slang?
Slang adalah ragam frasa tidak formal atau tidak baku yang bersifat musiman yang penggunaannya lebih sering untuk situasi santai. Biasanya, slang muncul di kalangan tertentu dan mencerminkan identitas sosial, kelompok umur, atau budaya.
Kata slang berfungsi sebagai alat ekspresi, membangun kedekatan, dan kadang-kadang juga menjadi simbol perlawanan terhadap norma frasa baku. Karena sifatnya yang tidak baku, slang umumnya tidak diajarkan secara formal di sekolah. Sebaliknya kata-kata slang berkembang secara alami di lingkungan sosial, terutama di kalangan anak muda.
Ciri khas dari slang adalah fleksibilitas dan kreativitas dari ragam frasanya. Kata-kata dalam slang bisa merupakan pelesetan, singkatan, atau gabungan dari kata-kata yang sudah ada. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia, kata “mager” berasal dari singkatan “malas gerak”. Slang juga bisa bersifat temporer, alias populer dalam waktu tertentu dan kemudian menghilang atau berganti dengan istilah baru.
Selain sebagai alat komunikasi, slang juga berfungsi sebagai penanda identitas atau bahkan kode tertentu. Penggunaan slang bisa menunjukkan kedekatan dalam kelompok, usia, latar belakang budaya, atau bahkan sikap terhadap norma sosial.
Sejarah Singkat Bahasa Slang
Asal-usul istilah slang memiliki setidaknya dua sumber, yang pertama dari Inggris pada abad ke 16 hingga 18. Di abad, para kelompok kriminal, penjudi, dan kelas pekerja menciptakan kosakata khusus yang hanya kelompok mereka pahami.
Kosakata khusus ini atau slang mereka gunakan agar orang-orang di luar kelompok mereka tidak mengetahui apa yang sedang mereka rencanakan. Sebagai contoh, cant dan thieves’ cant adalah bentuk awal slang yang komunitas bawah tanah gunakan di Inggris sebagai bentuk “kode rahasia.”
Kemudian bergeser ke Amerika Serikat, slang mulai merambah sejak abad ke 19. Perkembangannya juga semakin meluas, tidak hanya di komunitas tertentu tetapi menjalar ke komunitas pelajar, pengiat seni, dan lainnya.
Di Amerika Serikat, keanekaragaman etnis dan budaya dari imigran sangat mempengaruhi perkembangan slang di sana. Istilah slang pun berkembang secara paralel di berbagai komunitas, termasuk komunitas Afrika-Amerika, Latin, dan Irlandia-Amerika.
Komunitas-komunitas tersebut menggunakan slang sebagai alat ekspresi identitas dan solidaritas, serta sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya dominan. Perkembangan teknologi, khususnya media massa pada saat itu mulai mengubah cara slang menyebar.
Pada abad ke 20, sarana seperti film, radio, dan musik menjadi penyebaran utama istilah-istilah slang ke masyarakat luas. Perkembangan genre musik seperti jazz pada 1920-an, rock and roll pada 1950-an, dan hip-hop sejak 1980-an, menjadi sumber utama lahirnya slang baru di masyarakat. Sejak saat itu slang menjadi bagian dari budaya populer yang ada.
Di era modern, media sosial telah merevolusi persebaran slang. Forum daring, dan berbagai platform media sosial seperti X, Instagram, dan TikTok semakin mempercepat penciptaan dan penyebaran slang baru.
Istilah seperti “LOL” (laugh out loud), “FOMO” (fear of missing out), atau “YOLO” (you only live once) lahir dari penggunaan internet secara global, termasuk di Indonesia. Dalam konteks ini, slang tidak lagi bersifat lokal atau eksklusif, tetapi menjadi fenomena global yang melintasi batas geografis, dan budaya.
Sementara itu, Prof. Dr. Multamia Lauder, pakar linguistik dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa slang adalah cerminan dari interaksi sosial anak muda urban dan tidak bisa terlepas dari pengaruh budaya pop global. Dalam salah satu wawancaranya ia menyebut, “Slang atau istilah gaul bukan hanya soal kosakata baru, tetapi juga menunjukkan dinamika dan kecerdikan berbahasa dari penuturnya.”
Evolusi dan Penyebaran Slang
Slang bersifat dinamis, bisa berubah dan berkembang mengikuti zaman, lingkungan sosial, serta media yang dominan pada masanya. Istilah slang yang populer pada saat ini mungkin saja sudah tidak relevan lagi di masa depan.
Evolusi slang umumnya karena dua hal utama yaitu, kebutuhan ekspresi baru, dan dorongan untuk membedakan diri dari generasi sebelumnya. Sebagai contoh, slang anak muda tahun 90-an seperti “gaul”, “sohib”, atau “bokap-nyokap”, kini bergeser oleh istilah seperti “bestie”, “healing”, atau “santuy” yang populer di era media sosial.
Penyebaran slang awalnya bersifat lokal dan terbatas pada komunitas tertentu, seperti pelajar, musisi, atau kelompok marginal. Namun, sejak munculnya media masa seperti radio, film, dan televisi pada abad ke 20, slang mulai menembus batas komunitas dan menyebar lebih luas.
Memasuki era digital, perubahan paling signifikan terjadi ketika internet khususnya media sosial menjadi sarana utama komunikasi generasi muda. Di sini, slang tidak hanya menyebar lebih cepat, tapi juga tercipta secara spontan dan viral. Sebagai contoh, kata “cringe”, “simp”, “ghosting”, atau “gaslighting” mendapat makna populer baru yang tersebar dalam waktu singkat berkat penggunaannya dalam konten viral dan meme.
Selain kecepatan, internet juga membuat slang bersifat lintas budaya dan lintas bahasa. Banyak istilah slang berbahasa Inggris yang diadopsi secara langsung oleh penutur bahasa lain, termasuk di Indonesia. Di sisi lain, budaya lokal juga menciptakan atau memodifikasi istilah itu sendiri.
Contohnya, kata “healing” dalam bahasa Inggris berarti penyembuhan, tetapi dalam konteks slang Indonesia, artinya bergeser menjadi “jalan-jalan untuk menghilangkan stres”. Fenomena ini menunjukkan bahwa evolusi slang bukan hanya soal perubahan kata, tapi juga tentang pergeseran makna, fungsi sosial, dan pengaruh globalisasi dalam berbahasa.
Contoh Slang di Indonesia
Perkembangan slang di Indonesia tentunya tidak terlepas dari pengaruh budaya lokal, urbanisasi, dan media. Di era 1980-an, muncul istilah prokem, yaitu bentuk slang yang anak jalanan dan remaja urban pergunakan di Jakarta.
Bahasa ini sering memodifikasi kata-kata dengan pola tertentu untuk menyamarkan maknanya. Contohnya, kata “bapak” menjadi “bokap” dan “ibu” menjadi “nyokap”. Bahasa prokem awalnya eksklusif di komunitas tertentu, tapi lambat laun mulai menyebar secara luas di kalangan masyarakat perkotaan dan bahkan masuk ke media hiburan.
Memasuki era 2000-an, muncul istilah istilah alay yang mencerminkan gaya komunikasi remaja di media sosial, terutama di era SMS dan blog. Istilah ini sering memiliki ciri-ciri yaitu, ejaan yang tidak konsisten, penggunaan angka dan huruf besar-kecil secara acak.
Selain itu, istilah alay juga suka menambahkan kosakata yang unik seperti “ciyus” (serius), “miapah” (emangnya apa), atau “gubrak”. Meski sempat mendapat pandangan negatif, istilah alay menunjukkan kreativitas linguistik generasi muda pada zamannya.
Dalam satu dekade terakhir, media sosial mempercepat penyebaran dan penciptaan slang baru. Istilah-istilah seperti “gabut” (tidak ada kerjaan), “mager” (malas gerak), dan “kepo” (ingin tahu urusan orang lain), menjadi umum di berbagai kalangan.
Ada juga yang berasal dari campuran bahasa Indonesia dan Inggris dalam gaya bahasa Jaksel (Jakarta Selatan), seperti “literally capek banget” atau “this is so me,” juga menjadi ciri khas gaya bahasa remaja urban.
Slang di Indonesia kini tidak hanya mencerminkan kreativitas lokal, tetapi juga pengaruh global yang terus berkembang.
Dampak dan Kontroversi
Slang umumnya memiliki dampak positif dalam kehidupan sosial, terutama sebagai sarana ekspresi diri dan penciptaan identitas kelompok. Di kalangan remaja, slang berfungsi sebagai alat untuk menunjukkan keakraban, kebaruan, dan kedekatan budaya.
Slang juga memperlihatkan fleksibilitas berbahasa dalam menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Kreativitas dalam menciptakan dan memodifikasi kosakata memperkaya ragam ekspresi, membuat komunikasi terasa lebih hidup, santai, dan sesuai dengan konteks kekinian.
Namun di balik dampak positifnya, penggunaan slang juga dapat menimbulkan kontroversi, khususnya dalam ranah pendidikan dan komunikasi formal. Beberapa pihak di antaranya guru, dan orang tua khawatir bahwa kebiasaan berbahasa slang dapat menurunkan kemampuan berbahasa baku.
Bukan tanpa alasan, slang yang umumnya bersifat temporer jika penggunaannya berlebihan, bisa menyebabkan miskomunikasi antargenerasi, dan mempersempit pemahaman terhadap struktur bahasa yang benar.
Di sisi lain, perdebatan tentang slang sering kali mencerminkan ketegangan antara nilai-nilai konservatif dan budaya populer. Sementara sebagian orang menganggap slang sebagai bentuk “perusakan bahasa”, banyak linguistik modern justru melihatnya sebagai bagian dari evolusi alami bahasa. Slang juga sebaiknya dipahami secara kontekstual dan digunakan secara bijak sesuai kebutuhan dan situasinya.