nouranoor.com – LMKN menjadi buah bibir akhir-akhir ini, karena semakin gencar menagih royalti musik ke berbagai elemen. Hal ini pun membuat resah para pengusaha, terutama usaha mikro dan kecil seperti cafe, resto, dan sejenisnya.
Tagihan royalti dari LMKN yang mereka terima terasa tidak jelas dasar hitungannya dan nominalnya terlalu memberatkan. Alhasil kini banyak penguasaha yang memilih untuk tidak memutar musik di area usahanya.
LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) sebagai lembaga yang memang berwenang untuk mengumpulkan royalti penggunaan karya cipta lagu dan musik dari para pengguna komersial dengan tarif yang ditetapkan. Lembaga ini berdiri sejak 2015, jika melihat ke laman website resminya setidaknya ada 13 sektor bisnis dan komersil yang perlu membayar royalti.
Sektor yang terkena royalti mulai dari transportasi umum, hotel, konser, pertokoan, radio, pusat rekreasi, bioskop, penyiaran televisi, pameran, karaoke, seminar, resto & cafe, dan nada tunggu telepon, bank, & kantor.
Namun belakangan ini banyak pihak yang mengeluhkan tagihan royalti yang aneh. Contohnya ada pengusaha hotel yang tidak memasang lagu dan musik tetap mendapat tagihan royalti. Tentunya banyak pihak mempertanyakan bagaimana dasar perhitungan royalti hingga membuat tagihan ke berbagai sektor usaha.
Bahkan yang terbaru, LMKN mengeluarkan wacana tidak hanya sektor bisnis tetapi pihak personal pun bisa terkena tagihan royalti.
Berikut ini beberapa tagihan royalti musik aneh yang dilayangkan LMKN ke berbagai pihak.
Hotel dengan Suara Kicauan Burung
Sebuah hotel di Tangerang Selatan, Pranaya Boutique Hotel menerima tagihan royalti musik, padahal mereka tidak menggunakan musik komersil melainkan suara kicauan burung. Manajemen hotel menjelaskan, mereka sudah lama, setidaknya sejak 2022 menggunakan suara-suara alami seperti kicauan burung untuk hotelnya.
Pranaya Boutique Hotel menggunakan konsep ‘Natural Deluxe’, yaitu menghadirkan suara alami mulai dari burung hingga gemericik air. Manajemen bahkan menjabarkan ada delapan burung peliharaan, mulai dari lovebird hingga parkit Australia, serta gemericik air hingga janggrik.
Mereka pun menegaskan, tidak ada pengeras suara untuk menyalakan musik di area publik hotel. Jadi manajemen hotel sangat keberatan dengan tagihan royalti tersebut, yang mereka terima sejak 28 Juli 2025.
Manajemen hotel pun mempertanyakan dasar hitungan dari apa, jika hanya berdasarkan asumsi semua hotel menyalakan musik tentunya dasar itu sudah sangat keliru.
Hotel dengan Televisi
Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) melayangkan surat keberatan terkait beragam tagihan royalti dari LMKN. Pasalnya banyak hotel yang merasa klaim tagihan royalti yang perhitungannya tidak transparan.
Seperti beberapa hotel di kota Mataram, NTB yang menerima tagihan royalti padahal mereka tidak menggunakan musik di area hotel. Setelah mereka mencoba konfirmasi ke pihak LMKN, jawabannya cukup membuat geleng-geleng kepala.
Pasalnya LMKN mengklaim pihak hotel tetap harus membayar royalti, karena setiap hotel menyediakan televisi di setiap kamar. Secara otomatis, setiap tamu yang memutar lagu di televisi maka pihak hotel harus membayar royalti.
Tentu saja hal ini membingungkan, pasalnya bila mengacu pada SK Kementerian Hukum dan Ham Nomor HKI.2-OT.03.01-02 Tahun 2016, MOU Nomor 001/LMKN-MOU/XI-2016 dan Nomor: 009/MOU/BPP-PHRI.XVII/11/2016 Tentang Tarif Royalti untuk Hotel dan Fasilitas Hotel, tidak tertulis bahwa penggunaan televisi termasuk di dalamnya.
Timnas saat Menyanyikan Lagu Kebangsaan
Beredar kabar jika Timnas Indonesia setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Tanah Airku saat pertandingan harus membayar royalti sehingga memicu emosi publik. Polemik ini muncul setelah pihak sempat menyatakan lagu kebangsaan dalam konteks pertunjukan komersial tetap harus membayar royalti.
Sekjen PSSI Yunus Nusi pun turut memberikan respon, menurutnya klaim ini terlalu mengada-ngada dan hanya membuat gaduh. Pasalnya lagu kebangsaan yang dinyanyikan Timnas Indonesia saat pertandingan adalah sebagai bentuk ‘pembangkit’ nasionalisme. Maka dari itu tidak seharusnya mengaikan dengan royalti, karena tidak ada sedikit pun nilai bisnis di dalamnya.
Netizen pun turut ramai merespon dan memprotes hal tersebut, terutama di media sosial LMKN. Hingga baru-baru ini Komisioner LMKN Bidang Kolekting dan Lisensi, Yessi Kurniawan memberikan klarifikasi. Ia menyampaikan lagu Indonesia Raya sudah berstatus sebagai public domain sehingga tidak ada perlindungan hak cipta atas karya tersebut.
Acara Hajatan yang Putar Musik
Polemik tagihan royalti musik terus berlanjut, terbaru beredar informasi setiap acara hajatan baik itu pernikahan maupun pesta ulang tahun.
Informasi ini berdasarkan kutipan dari pernyataan Head of Corporate Communication & Membership WAMI Robert Muyarahardja. Beliau mengklaim setiap musik yang digunakan di ruang publik maka ada hak pencipta yang harus mereka bayarkarkan. Pihak penyelenggara hajatan harus membayar dengan besaran tarif sekitar dua persen dari biaya musik.
Tentunya hal ini menuai respon negatif dari berbagai pihak, karena pasalnya aturan tersebut terasa bias. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan penyelenggara hajatan tidak harus membayar royalti. Ia pun menjamin hal tersebut, pasalnya berdasarkan aturan yang ada hajatan tidak termasuk sektor bisnis.
Hotel dengan Murrotal Al Qur’an
Terbaru Hotel Grand Madani, sebuah hotel syariah di kota Mataram menerima tagihan royalti karena menggunakan murrotal Al Qur’an. Pasalnya mereka menerima tagihan sebesar Rp 4,5 juta dari LMKN sebagai tagihan royalti tahunan.
Mereka menegaskan hanya menggunakan murrotal Al Qur’an, dan tidak pernah memasang lagu maupun musik lain. Namun tagihan tersebut tetap mereka terima dan harus mereka bayarkan. Alhasil untuk sementara mereka menghentikan penggunaan murrotal Al Qur’an di sana.
Tentu saja tagihan royalti ini membuat kebingungan, jika murrotal Al Qur’an saja kena royalti maka pembayarannya akan diberikan ke pihak mana?
1 thought on “Top 5 Tagihan Royalti Musik Aneh LMKN, Terakhir Paling ‘Gila’!”