nouranoor.com – Pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana seseorang bisa bangkit kembali setelah mengalami cedera otak? atau mengapa kita mampu belajar keterampilan baru meski sudah berusia dewasa? Jawabannya terletak pada sebuah kemampuan luar biasa yang otak manusia miliki, yaitu neuroplastisitas.
Neuroplastisitas merujuk pada kemampuan otak untuk beradaptasi, dan membentuk jalur saraf baru. Lebih lanjut istilah ini juga tentang mengatur ulang koneksi lama seiring dengan pengalaman, pembelajaran, dan kebiasaan.
Neuroplastisitas bukan sekadar istilah ilmiah, melainkan sebuah kenyataan yang memberi harapan. Hal ini menjelaskan mengapa terapi bisa membantu pasien stroke pulih. Tidak hanya dalam kesehatan, tetapi juga hal lain seperti bagaimana latihan musik dapat meningkatkan kecerdasan, atau bahkan mengapa sulit sekali menghilangkan kebiasaan buruk.
Maknanya, otak manusia tidak statis melainkan dinamis, terus-menerus membentuk ulang dirinya sesuai dengan apa yang manusia sering lakukan setiap hari.
Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam mengenai apa itu neuroplastisitas. Mengapa hal ini sangat penting untuk perkembangan dan pemulihan manusia. Selain itu tentang teknik-teknik sederhana yang dapat melatih ulang otak.
Dengan memahami dan mempraktikkan prinsip-prinsip neuroplastisitas, siapa pun bisa meningkatkan kemampuan berpikir, memperkuat kesehatan mental, dan membentuk hidup yang lebih positif.
Apa itu Neuroplastisitas?
Neuroplastisitas berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, neûron (νεῦρον) yang berarti saraf atau neuron dan plastikós (πλαστικός) yang berarti dapat dibentuk atau lentur. Jadi, secara harfiah neuroplastisitas berarti kelenturan atau kemampuan saraf untuk dibentuk.
Secara makna, neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk berubah dan menyesuaikan diri sepanjang hidup, baik secara struktural maupun fungsional, sebagai respons terhadap pengalaman, pembelajaran, atau cedera.
Dahulu, para ilmuwan memperkirakan bahwa otak hanya berkembang pada masa kanak-kanak lalu berhenti setelah dewasa. Namun, penelitian modern membuktikan bahwa otak tetap dapat membentuk koneksi baru, memperkuat jalur saraf yang sering digunakan, bahkan memperbaiki diri setelah cedera.
Secara umum, neuroplastisitas terbagi menjadi dua jenis. Pertama, structural plasticity yaitu perubahan fisik pada otak ketika kita belajar sesuatu yang baru atau berlatih keterampilan tertentu. Sebagai contoh, area otak musisi profesional yang berhubungan dengan koordinasi jari biasanya lebih berkembang.
Kedua, functional plasticity yaitu kemampuan otak untuk memindahkan fungsi tertentu dari area yang rusak ke area lain yang sehat. Hal ini sering terlihat pada pasien stroke yang perlahan bisa mengembalikan kemampuan berbicara atau bergerak setelah pengobatan atau terapi.
Menariknya, perubahan pada otak ini terjadi bukan hanya karena pengalaman besar, tetapi juga dari kebiasaan kecil yang berulang-ulang. Aktivitas sehari-hari seperti membaca, berolahraga, bermeditasi, atau sekadar belajar hal baru dapat memicu otak membangun koneksi saraf yang lebih kuat.
Dengan kata lain, setiap tindakan kita adalah kesempatan untuk “melatih ulang” otak agar lebih adaptif dan sehat.
Sekilas Perkembangan Neuroplastisitas
Psikiater asal Polandia Jerzy Konorski yang pertama kali memperkenalkan istilah neuroplastisitas pada 1948. Ia menggunakan istilah ini untuk menggambarkan kemampuan otak dalam membentuk koneksi saraf baru.
Namun jika menarik kebelakang, gagasan tentang otak yang bisa berubah sebenarnya sudah muncul lebih awal. William James, seorang psikolog Amerika, pada akhir abad ke-19 (sekitar 1890) sudah menyebutkan dalam bukunya The Principles of Psychology bahwa otak bersifat “plastis”.
Jadi bisa disimpulkan, William James adalah pemikir awal, Jerzy Konorski yang memperkenalkan istilah neuroplastisitas.
Padal awal-awal abad ke-20, beberapa ilmuwan menyimpulkan bahwa otak berhenti berkembang saat usia dewasa. Salah satu tokoh yang mendukung pandangan ini adalah Santiago Ramón y Cajal (peraih Nobel Fisiologi/Medis tahun 1906).
Santiago Ramón y Cajal menulis bahwa “pada orang dewasa, jalur saraf bersifat tetap, selesai, dan tidak dapat diperbaiki.” Dengan kata lain ia beranggapan setelah dewasa, otak tidak bisa lagi membentuk sel atau koneksi baru.
Namun seiring perkembangan teknologi, pandangan ini mulai terbantahkan. Pada 1960-an, penelitian mulai menunjukkan bukti adanya perubahan otak pada orang dewasa.
Paul Bach-y-Rita (neuroscientist, 1967) melalui eksperimen sensorik yang menunjukkan bahwa otak bisa beradaptasi. Hasil eksperimennya menunjukkan orang buta bisa “melihat” melalui stimulasi sensor lain, menandakan otak dapat membentuk jalur baru.
Kemudian ada Michael Merzenich (1970-an) yang sering disebut “bapak neuroplasticity modern,” membuktikan bahwa peta sensorik di otak tikus bisa berubah setelah latihan atau cedera. Penelitiannya menjadi bukti kuat bahwa otak dewasa masih plastis.
Lalu, ada sebuah penelitian dengan neuroimaging (MRI fungsional) yang semakin menguatkan bukti. Penelitian tersebut ada pada studi Eleanor Maguire pada tahun 2000. Dalam studi tersebut terlihat pada sopir taksi London menemukan hippocampus mereka lebih besar karena harus menghafal peta kota, yang menunjukkan pembelajaran intensif mengubah struktur otak.
Korelasi Neuroplastisitas & Kognitif
Neuroplastisitas dan kemampuan kognitif memiliki hubungan yang sangat erat. Neuroplastisitas adalah mekanisme biologis yang memungkinkan otak mengubah struktur dan fungsi jalur saraf, sedangkan kognitif adalah wujud nyata dari kemampuan berpikir, mengingat, memecahkan masalah, dan belajar.
Jadi dengan kata lain, neuroplastisitas adalah “mesin” yang mendorong kognisi manusia tetap hidup dan berkembang. Sebagai contoh, proses belajar dan mengingat terjadi karena otak membentuk jalur saraf baru atau memperkuat koneksi yang sudah ada.
Inilah sebabnya mengapa aktivitas seperti membaca, belajar bahasa, atau bermain musik dapat meningkatkan fungsi kognitif seseorang. Demikian juga, ketika menghadapi tantangan atau lingkungan baru, otak akan beradaptasi melalui plastisitas, sehingga kemampuan kognitif tetap terasah.
Sesuatu yang tidak kalah penting, neuroplastisitas juga berperan dalam pemulihan kognitif setelah cedera atau penyakit. Seperti disebutkan sebelumnya, pasien stroke dapat kembali menguasai bahasa atau keterampilan tertentu karena otak mengalihkan fungsi kognitif yang hilang ke jalur saraf lain yang masih sehat.
Hal ini membuktikan bahwa menjaga dan merangsang plastisitas otak tidak hanya bermanfaat untuk belajar, tetapi juga untuk mempertahankan dan memulihkan kemampuan kognitif sepanjang hidup.
Teknik Melatih Ulang Otak
Penting sekali bagi kita untuk terus melatih ulang otak, agar neuropkastisitas tetap “hidup” dan terus membentuk jalur saraf baru. Selain itu hal ini sangat penting untuk meningkatkan kemampuan kognitif. Melatih ulang otak bukan sekadar untuk kesehatan fisik, melainkan juga mental.
Penelitian menunjukkan bahwa praktik seperti meditasi atau terapi perilaku kognitif dapat mengubah pola koneksi saraf yang berhubungan dengan stres, kecemasan, hingga depresi. Artinya, dengan kebiasaan dan latihan tertentu, kita bisa membantu otak membangun pola pikir yang lebih sehat dan positif.
Berikut ini teknik-teknik untuk melatih ulang otak:
- Olahraga Teratur
Aktivitas fisik seperti berjalan kaki, berlari, atau yoga sudah terbukti meningkatkan aliran darah ke otak dan merangsang pertumbuhan sel-sel saraf baru. Olahraga juga melepaskan hormon yang memperkuat koneksi antar-neuron, sehingga otak lebih siap untuk belajar dan beradaptasi. - Mindfulness dan Meditasi
Melatih fokus melalui meditasi membantu menenangkan pikiran dan mengurangi stres. Penelitian menunjukkan bahwa praktik ini dapat mempertebal bagian otak yang berhubungan dengan perhatian, emosi, dan pengambilan keputusan. Hanya dengan 10–15 menit sehari, efek positifnya sudah bisa dirasakan. - Belajar Hal Baru
Mengasah otak dengan keterampilan baru, seperti belajar bahasa asing, memainkan alat musik, atau mencoba resep masakan berbeda, akan membentuk jalur saraf baru. Semakin sering otak dilatih, maka akan semakin kuat kemampuan adaptasinya. - Membangun Kebiasaan Positif
Otak sangat responsif terhadap pengulangan. Dengan menjaga pola tidur yang baik, konsumsi makanan bergizi, atau sekadar rutin membaca buku, kita membantu otak membentuk pola yang sehat. Konsistensi kecil sehari-hari memberi dampak besar dalam jangka panjang. - Terapi dan Stimulasi Khusus
Untuk kasus tertentu, seperti pemulihan pasca-stroke atau trauma, terapi yang terarah sangat membantu. Contohnya adalah cognitive behavioral therapy (CBT) untuk mengubah pola pikir negatif atau constraint-induced therapy yang melatih pasien menggunakan anggota tubuh yang lemah agar otak “belajar ulang” fungsi yang hilang.