nouranoor.com – Brain rot menjadi salah satu efek negatif yang nyata dari kecanduan scroll konten-konten di media sosial. Sebut saja Tiktok, yang menjadi salah satu pelopor media sosial dengan konsep konten video dengan durasi pendek.
Dengan hadirnya Tiktok, orang-orang lebih cepat mendapatkan berbagai informasi namun dalam scope kecil. Dampaknya adalah mereka akan menjadi sering membuat kesimpulan tanpa mempelajari detail runtutan informasinya.
Contoh, lebih memilih membeli produk tergantung siapa yang mempromosikan tanpa mencari tahu komposisi, manfaat, atau legalitas produk tersebut. Kejadian yang cukup viral salah satunya, produk garam ruqyah. Hanya bermodal ditempel foto tokoh agama terkenal, produk ini laku ribuaan pieces.
Dampak yang paling sering adalah semakin sulit membedakan informasi hoax. Terbaru yang meninpa mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang mendapat hujatan bertubi-tubi akibat konten hoax yang ia mengatakan guru beban negara.
Inilah hanyalah beberapa contoh ketika seseorang kecanduan mendapatkan informasi dari konten video pendek. Lebih cepat mengambil kesimpulan tanpa menggali lebih jauh informasi detailnya. Data dari Goodstats rata-rata masyarakat Indonesia menghabisakan lebih dari 3 jam untuk scroll media sosial.
Dampak dari semua itu yang tidak mereka sadari yaitu menurunnya kemampuan kognitif hingga brain rot.
Apa itu Brain Rot?
Brain rot secara harfiah berarti “pembusukan otak,” namun dalam konteks ini yaitu merupakan istilah populer yang menggambarkan penurunan fungsi kognitif seperti kemampuan berpikir kritis, fokus, dan memori akibat konsumsi konten digital yang berlebihan, cepat, dan dangkal secara terus-menerus.
Fenomena ini merupakan dampak dari seseorang tenggelam dalam aktivitas scroll tanpa henti di media sosial. Tentu saja hal tersebut akan membuat otak terus-menerus menerima rangsangan cepat namun dangkal. Akibatnya, kemampuan untuk fokus pada hal-hal yang lebih mendalam dan bermakna pun berkurang.
Bahkan saat hanya mengkonsumsi konten singkat sekadar untuk hiburan, seperti video singkat, meme, atau postingan ringan, potensi brain rot tetap ada.
Meski terlihat sepele, pola konsumsi semacam konten singkat tetap dapat menumpulkan kemampuan berpikir kritis. Selain itu membuat pengguna sulit bertahan lama pada aktivitas yang membutuhkan konsentrasi tinggi.
Contoh nyata dari brain rot bisa terlihat pada kebiasaan sehari-hari dalam aktivitas media sosial. Seperti sulit berhenti menonton video pendek selama berjam-jam, merasa gelisah jika tidak membuka aplikasi media sosial, atau kehilangan motivasi untuk melakukan hal produktif.
Inilah yang membuat istilah brain rot menjadi relevan di era digital saat ini. Terutama bagi kalangan generasi muda yang sangat rentan terhadap efek candu dari algoritma media sosial.
Gejala Brain Rot
Salah satu gejala paling umum dari brain rot adalah hilangnya fokus dan konsentrasi. Seseorang yang terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam scrolling media sosial, cenderung kesulitan untuk tetap fokus pada tugas yang memerlukan perhatian penuh.
Misalnya, saat membaca buku atau belajar, mereka mudah terdistraksi dan merasa perlu mengecek ponsel hanya untuk melihat notifikasi baru. Selain itu, brain rot juga dapat ditandai dengan menurunnya motivasi untuk melakukan kegiatan produktif.
Namun setiap orang mengalami berbeda-beda. Berikut adalah beberapa di antaranya gejala-gejala umumnya.
- Kecanduan media sosial.
- Susah tidur.
- Mata terasa lelah atau sakit kepala.
- Terlalu banyak menerima informasi kurang penting.
- Penurunan kecerdasan kognitif, seperti daya ingat dan kemampuan konsentrasi.
- Mudah cemas atau stres.
- Sering merasa malas, dan kurang bersemangat,
- Menunda-nunda pekerjaan penting karena lebih memilih menikmati hiburan instan.
Efek Negatif Brain Rot
Brain rot bukan sekadar penurunan kemampuan kognitif namun bisa sampai menggangu kesehatan mental. Kebiasaan scroll tanpa henti membuat otak terbiasa dengan rangsangan instan, sehingga kemampuan berpikir mendalam dan kritis semakin menurun.
Akibatnya, seseorang lebih mudah merasa cemas, stres, atau bahkan mengalami gangguan suasana hati karena terus membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang ditampilkan di media sosial.
Secara fisik, efek negatifnya mulai dari gangguan pola tidur hingga menurunnya kualitas istirahat. Selain itu, terlalu lama menatap layar bisa menimbulkan kelelahan mata, sakit kepala, hingga postur tubuh yang buruk akibat duduk atau berbaring dalam posisi yang tidak sehat.
Lalu efek negatif pada sisi sosial, seseorang yang kecanduan scroll media sosial akan lebih memilih berinteraksi dengan dunia maya daripada menjalin komunikasi nyata dengan orang di sekitarnya. Hal ini dapat menurunkan kualitas hubungan sosial, membuat individu merasa terisolasi, dan kehilangan momen penting dalam kehidupan nyata.
Dari sisi produktivitas, brain rot menyebabkan menurunnya motivasi, munculnya kebiasaan menunda pekerjaan, hingga penurunan prestasi baik di sekolah maupun di tempat kerja. Akibatnya, kualitas hidup bisa menurun dari segala sisi, baik mental, fisik, sosial, dan produktivitas di dunia nyata.
Cara Mengatasi Brian Rot
Jika sudah menyadari adanya gejala-gejala ringan dari brain rot, akan lebih baik melakukan penanganan. Semakin lama diabaikan, hal tersebut tentunya tidak hanya menurunkan kemampuan kognitif tetapi bisa sampai meningkatkan risiko stres hingga depresi.
Jika sudah sampai pada titik tersebut, untuk mengatasinya butuh penanganan khusus. Maka pada gejala awal bisa mengatasinya dengan cara-cara berikut ini:
- Melakukan teknik pomodoro
Institut Pertanian Bogor memperkenalkan teknik podomoro, menyebutkan bahwa teknik tersebut bisa menjadi salah satu cara mengatasi penurunan konsentrasi karena brain rot.
Untuk menerapkannya, bisa coba fokus belajar atau bekerja selama 25 menit lalu beristirahat selama lima menit. Ulangi teknik tersebut sampai 2–5 kali atau sesuai kebutuhan. Anda bisa meningkatkan durasi sesi fokus jika sudah berhasil melakukannya. - Menerapkan screen time
Salah satu cara terbaik mengatasi kebiasaan scroll media sosial adalah dengan membatasi penggunaan ponsel atau screen time. Mulai dengan mebuat aturan jelas, contoh saat di luar urusan pekerjaan, pastikan untuk tidak bermain ponsel selama lebih dari dua jam per hari. Sementara itu, pemakaian ponsel bagi anak-anak di bawah umur harus di bawah pengawasan orang dewasa bukan sekadar diberikan batas waktu. - Melakukan kurasi konten
Dengan kemudahan memperoleh informasi dari media sosial, perlu meningkatkan kurasi konten tidak hanya langsung mengambil kesimpulan. Pastikan sumber terpercaya, runtutan informasi lengkap, serta hindari informasi clickbait. - Lebih banyak melakukan aktivitas langsung
Bermain media sosial cukup sekadarnya jangan dijadikan untuk menghabiskan seluruh waktu luang. Mulai ganti dengan aktivitas langsung, seperti berolahraga, bergabung dengan komunitas, atau sekedar jalan-jalan di lingkungan tempat tinggal. - Menghindari penggunaan gadget sebelum tidur
Malam hari adalah salah satu waktu rawan doomscrolling media sosial. Pasalnya di saat itu harusnya menjadi waktu istirahat, tapi ketika sudah mulai main media sosial maka mulai rasa kantuk mulai hilang. Hal ini karena penggunaan gadget dapat menurunkan melatonin yaitu hormon yang menghadirkan rasa kantuk & mengatur siklus tidur.