Mengenal Socrates, Filsuf Yunani yang Menolak Sistem Demokrasi

Mengenal Socrates, Filsuf Yunani yang Menolak Sistem Demokrasi

Noupedia

nouranor.com – Sistem demokrasi dalam sebuah pemilihan pemimpin layaknya dua mata pisau, terkesan adil namun hanya menghasilkan pemimpin yang populis. Seorang filsuf Yunani Socrates sangat vokal menentang sistem demokrasi pada zamannya.

Dalam sistem demokrasi suara satu orang ahli (berpengetahuan) dengan suara orang biasa (tanpa pengetahuan) bernilai sama. Bagi Socrates hal itu sangat berbahaya, terutama dalam memilih seorang pemimpin yang nantinya akan bertanggung jawab membuat kebijakan bagi semua orang.

Seorang pemimpin wilayah atau bahkan negara tentunya harus memiliki kemampuan yang kompleks, bukan sekadar populer (memiliki banyak pendukung). Socrates memberikan analogi, “jika sebuah kapal sedang berlayar, apakah kita akan memilih nakhoda dengan cara memberi suara kepada semua penumpang? atau lebih baik menyerahkannya kepada seseorang yang benar-benar memahami ilmu navigasi dan pelayaran?”.

Dari analogi tersebut jelas Socrates mengkritik bahwa sistem demokrasi bukanlah pilihan tepat untuk memilih seorang pemimpin. Sebagai pemimpin hal terpenting adalah seseorang yang memiliki keilmuan tentang apa yang ia pimpin.

Untuk mengenal lebih jauh Socrates sebagai salah satu filsuf Yunani yang vokal mengkritisi sistem demokrasi, berikut biografi singkat hingga warisan pemikirannya.

Biografi Socrates

Socrates lahir sekitar tahun 470 SM di kota Athena, Yunani. Ia lahir dari keluarga yang sederhana, ayahnya (Sophroniscus) seorang pemahat patung dan ibunya (Phaenarete) seorang bidan. Masa kecil Socrates layaknya anak-anak lain di Athena. Ia mendapatkan pendidikan dasar mulai dari belajar membaca, menulis, musik, serta filsafat awal dari para pemikir sebelumnya.

Saat remaja, Socrates sempat mengikuti jejak ayahnya sebagai pemahat patung. Bukan sekadar ikut-ikutan, tetapi ia mampu menghasilkan karya seni yang cukup bagus hingga dipamerkan di kuil Athena. Karena kemampuannya, ia jadi terkenal memiliki tubuh yang kuat sehingga pernah ikut bertugas sebagai hoplites (tentara infanteri berat). Socrates pun turut serta dalam beberapa pertempuran penting, termasuk Perang Peloponnesos melawan Sparta.

Baca Juga:  Mengenal Bias Kognitif, Musuh Dalam Pikiran Kita Sendiri

Socrates menikah dengan seorang perempuan bernama Xanthippe. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga anak laki-laki. Socrates sendiri menjalani kehidupan yang sangat sederhana, menolak kemewahan, dan lebih banyak menghabiskan waktunya berdiskusi di alun-alun kota (Agora) bersama warga Athena.

Dari sinilah lahir berbagai pemikiran kritis Socrates yang sering menimbulkan konflik dengan pemerintah Athena. Socrates tidak pernah menulis karya filsafatnya sendiri, semua pemikiran filsafat Socrates yang terkenal hingga saat ini berasal dari catatan murid-muridnya, terutama Plato dan Xenophon.

Pemikiran & Metode Socrates

Socrates sebagai salah satu filsuf Yunani, berbagai pemikirannya memang cukup kontroversial. Namun berbagai karya filsafatnya tidak pernah ia tulis sendiri, melainkan dari catatan murid-muridnya, terutama Plato dan Xenophon, serta komentar dari lawan intelektualnya seperti Aristophanes.

Kontribusi terbesar Socrates adalah metode bertanya yang kemudian terkenal sebagai Metode Socrates (Socratic Method). Metode ini tentang bagaimana cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam untuk menguji logika dan keyakinan lawan bicara, hingga mereka menemukan kontradiksi atau kebenaran yang lebih jelas.

Socrates meyakini bahwa “kebijaksanaan sejati adalah menyadari ketidaktahuan diri sendiri“. salah satu prinsip ini terangkum dalam pernyataannya yang terkenal, “Aku tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa.”

Socrates tidak fokus pada kosmologi seperti filsuf pra-Sokratik, melainkan pada etika, moralitas, dan bagaimana manusia seharusnya hidup. Baginya, pengetahuan dan kebajikan tidak dapat dipisahkan, orang yang benar-benar tahu apa itu kebaikan pasti akan bertindak baik.

Seperti itulah pemikiran dan metode Socrates, maka tak heran jika ia sering berkonflik dengan pemerintahan Athena terutama terkait sistem demokrasi.

Menentang Sistem Demokrasi

Keterbukaan serta keberanian Socrates dalam diskusi publik, tentu saja cukup membuat para tokoh penting di Athena terusik. Berbagai kritik sering Socrates layangkan, dan tentu saja hal itu membuat ia dianggap sebagai sosok yang berbahaya.

Baca Juga:  Affan, Korban dari Wakil Rakyat Nirempati Hasil Demokrasi

Beberapa hal yang Socrates kritik mulai dari tentang sofis (guru retorika berbayar) dan mengecam kebobrokan politik Athena. Socrates juga melihat bahwa sistem demokrasi membuka peluang lahirnya populisme.

Rakyat seringkali mudah terpengaruh oleh kata-kata manis atau janji kosong para politisi, daripada memilih berdasarkan kebenaran dan kebijaksanaan. Hal inilah yang menurutnya berbahaya, karena rakyat bisa mengangkat pemimpin yang pandai berbicara tetapi tidak mampu memimpin dengan baik.

Pandangan kritis Socrates tentang sistem demokrasi tergambar dalam analogi tentang kapal dan nakhoda. Ia berkata, “Jika sebuah kapal sedang berlayar, apakah kita akan memilih nakhoda dengan cara memberi suara kepada semua penumpang? Atau lebih baik menyerahkannya kepada seseorang yang benar-benar memahami ilmu navigasi dan pelayaran?”.

Intinya bagi Socrates, kepemimpinan seharusnya dipercayakan kepada mereka yang bijaksana, berpengetahuan, dan berakhlak, bukan semata-mata karena popularitas atau jumlah suara.

Dalam catatan Plato (Republic), pandangan Socrates berkembang menjadi gagasan bahwa bentuk pemerintahan terbaik bukanlah demokrasi, melainkan aristokrasi para filsuf. Aristokrasi para filsuf yaitu kepemimpinan oleh mereka yang benar-benar mencintai kebijaksanaan dan kebenaran. Dari sinilah lahir konsep terkenal “Filsuf-Raja” (Philosopher King).

Ironisnya, kritik Socrates terhadap sistem demokrasi terbukti pada dirinya sendiri. Pada tahun 399 SM, Socrates diadili dengan tuduhan:

  1. Tidak menghormati dewa-dewa negara.
  2. Memperkenalkan dewa-dewa baru.
  3. Merusak moral generasi muda.

Mekanisme dalam persidangan menggunakan sistem demokrasi, di mana para juri berasal dari rakyat biasa. Hasilnya, mayoritas juri menganggap Socrates bersalah dan harus mati, padahal ia hanya berpegang pada kebenaran.

Peristiwa ini memperkuat keyakinan para muridnya, terutama Plato, bahwa demokrasi tanpa pengetahuan dan kebijaksanaan dapat berakhir pada tirani massa. Ketika sebuah keputusan rakyat justru menjadi tidak adil dan berbahaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *