Tarsius, Primata Endemik Sulawesi yang 'Romantis'

Tarsius, Primata Endemik Sulawesi yang ‘Romantis’

Noupedia

nouranoor.com – Jika diminta menyebutkan nama-nama hewan yang tergolong dalam kelompok primata pastinya yang terlintas adalah orang utan, monyet, kera, simpanse, gorila. Tapi pernahkah kamu mendengar Tarsius? Tarsius merupakan salah satu primata terkecil di dunia dan hewan endemik dari pulau Sulawesi.

Di Kalimantan dan wilayah Asia Tenggara lainnya juga dapat kita temui, namun spesies yang ada di sana berbeda dengan yang ada di Sulawesi. Tarsius terbagi dalam tiga kelompok genus yaitu genus Carlito yang ada di Filipina, genus Cephalopacus yang ada di Kalimantan, dan genus Tarsius yang hanya ada di Sulawesi. Tercatat setidaknya ada 12 spesies Tarsius, primata endemik yang ada di Sulawesi.

Walaupun tergolong hewan primata, bentuk Tarsius lebih mirip seperti tikus sehingga orang-orang setempat sering menyebutnya Balao Cengke atau Tikus Jongkok. Tarsius tergolong primata yang unik, hal inilah yang membuatnya menjadi hewan buruan sehingga menjadi sangat langka untuk ditemukan.

Berikut fakta-fakta lainya seputar Tarsius, primata endemik Sulawesi:

Pemburu Handal Bertubuh Mungil

Ukuran badan Tarsius dewasa hanya sekitar 15 cm dengan berat rata-rata 100 gram. Namun ia memiliki panjang kaki yang mencapai dua kali lipat ukuran badannya. Hal inilah yang membuat Tarsius sebagai pelompat yang luar biasa, ia bisa melompat dari satu pohon ke pohon yang lain mencapai jarak 3 meter.

Setiap kaki dan tangan Tarsius memiliki lima buah jari yang bentuknya ramping dan panjang. Di bagian ujung sisi bawah jari dilengkapi dengan bantalan berbentuk bulat. Bentuk jari-jari kaki dan tangan yang unik ini sangat membantu Tarsius untuk berpegangan erat pada pohon dan menangkap  mangsanya.

Selain kakinya yang panjang, Tarsius juga memilliki ekor panjang dan gigi yang tajam. Walaupun tergolong mungil, Tarsius tergolong hewan karnivora. Tarsius memangsa berbagai serangga, kelelawar, burung kecil, bahkan ular.

Keunikan lainnya, Tarsius memiliki mata yang besar bahkan jauh lebih besar dibanding ukuran otak dan perutnya. Sebegitu besar ukuran matanya hingga tidak bisa ia tak mampu mengerakkaknnya, sehingga untuk melihat kesamping Tarsius harus memutar lehernya. Karena itu Tarsius memiliki kemampuan unik yaitu mampu memutar kepalanya hingga 180 derajat seperti burung hantu dan sangat membantu dalam mengamati pergerakan mangsa.

Baca Juga:  Mengenal Kelelawar, Hewan yang Memiliki 'Dua Mata Pisau'

Maka tidak heran walaupun bertubuh mungil Tarsius mampu menjadi hewan pemburu yang hebat karena setiap bagain tubuhnya sangat mendukung untuk berburu mangsa.

Hewan Nokturnal Sahabat Petani

Tarsius merupakan salah satu hewan yang aktif di malam hari, baik beraktifitas dan berburu mangsa. Dengan mata yang besar, membuat Tarsius memiliki mata yang tajam terutama saat di malam hari. Tarsius dapat mengamati sekelilingnya dengan sangat jelas, sehingga sangat mudah baginya berburu di malam hari.

Untuk berkomunikasi dengan kelompoknya, Tarsius akan mengeluarkan suara yang unik dalam frekuensi ultrasonik (di atas 20 kHz). Suara ini bisa terdengar menyeramkan di malam hari untuk sebagian orang. Namun itulah cara mereka untuk berkomunikasi satu sama lain.

Seperti kita ketahui, target mangsa Tarsius yaitu serangga, kelelawar, burung kecil, dan ular. Sehingga Tarsius merupakan hewan yang sangat membantu bagi manusia terutama petani, karena dapat menjaga tanaman petani secara tidak langsung.

Tarsius sebagai hewan nokturnal, akan segera kembali kesarangnya dan menghilang sebelum matahari terbit. Aktifitas ini yang membuat Tarsius menjadi hewan yang misterius, hingga mendapat julukan lain oleh orang setempat “Monyet Hantu dari Sulawesi”.

Primata yang Setia pada satu Pasangan

Tidak seperti kebanyakan primata lainnnya, Tarsius termasuk primata monogami yang setia pada satu pasangan. Tarsius akan membentuk ikatan yang kuat dengan satu pasangan dan tetap bersama sepanjang hidupnya.

Jantan dan betina saling bekerja sama untuk mencari makan, melindungi wilayah, dan merawat anak-anaknya. Tarsius akan tinggal bersama keluarganya hingga ia cukup dewasa, lalu mencari pasangannya sendiri.

Jika salah satu pasangannya mati, Tarsius tidak akan mencari pasangan baru dan akan menjalani sisa kehidupannya sendiri hingga mati.

Tidak bisa Hidup di Luar Habitatnya

Tarsius termasuk primata yang sangat peka terhadap sekitarnya, ia sangat tidak menyukai kebisingan, cahaya, dan bahkan manusia. Karena bentuk Tarsius yang unik, ia pun menjadi target buruan untuk dijual maupun dijadikan hewan peliharaan.

Baca Juga:  Ayu Utami, Penggebrak Sastra Perempuan Pada Awal Reformasi

Saat Tarsius hidup di luar habitatnya atau harus tinggal di dalam sangkar, ia akan merasa sangat stres. Hal terburuk yang terjadi ketika Tarsius sudah stres, ia akan membenturkan kepalanya ke area sekitar yang akhirnya menyebabkan ia mati sia-sia.

Dari fakta ini menjadi pengingat bahwa walaupun Tarsius merupakan hewan yang unik dan mungil, tetapi hewan ini tidak bisa menjadi peliharaan. Karena penangkaran atau tempat tinggal terbaik bagi Tarsius adalah habitat aslinya (hutan).

Ancaman Kepunahan Tarsius

Usia Tarsius bisa mencapai 20 tahun tergantung lingkungan hidupnya. Walaupun tergolong memiliki usia yang cukup panjang, Tarsius termasuk hewan yang terancam kepunahan.

Hal ini akibat beberapa faktor seperti perburuan liar dan angka reproduksi yang kecil. Tarsius umumnya hanya melahirkan satu bayi setiap kelahiran, dengan masa kehamilan sekitar 6 bulan. Terlebih lagi Tarsius merupakan hewan monogami, sehingga ketika salah satu pasangannya mati maka tidak ada lagi keturunan.

Untuk melakukan penangkaran pada Tarsius agar terhindar dari perburuan liar dan meningkatkan populasinya bukanlah hal yang mudah. Seperti kita ketahui, Tarsius sulit beradaptasi apalagi tumbuh di luar habitat aslinya.

Maka perlu penangkaran khusus, seperti Philippine Tarsier Foundation yang membuat penangkaran untuk meningkatkan populasi Carlito (Tarsius spesies Filipina). Penangkaran ini cukup berhasil, terletak di pulau Filipina Bohol dengan mengembangkan kendang besar semi liar yang memakai cahaya untuk menarik serangga nokturnal yang menjadi sumber makanannya.

Di Sulawesi sendiri terdapat Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus yang dikelola Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Cagar alam ini memiliki luas sekitar 3.196 hektar dengan dua ekosistem yaitu hutan hujan dan hutan lumut. Namun cagar alam ini tidak hanya untuk Tarsius tetapi beberapa jenis hewan lainnya seperti monyet hitam, kuskus, maleo, rangkong, dan lainnya.

Dengan begitu, spesies Tarsius yang hidup di wilayah lainnya di Sulawesi masih terancam perburuan liar bahkan bisa menyebabkan populasinya semakin turun dari tahun ke tahun. Tarsius merupakan satu dari banyaknya hewan yang terancam punah di negeri ini. Maka dibutuhkan perhatian serius dari para pemangku kebijakan agar Tarsius dan hewan langka lainnya bisa terus Lestari agar ekosistem alam di negeri ini terus terjaga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *